analisis novel (kajian mimetik)
ANALISIS NOVEL DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH KARYA HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA) BERDASARKAN PENDEKATAN MIMETIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen Pengampu: Kurniasih Fajarwati, M.Pd.
Oleh:
Qori’atul Laili 163151028
TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2018
PENDAHULUAN
Makalah ini dilatar belakangi oleh konsep pendekatan mimetik sebuah karya sastra dilihat sebagai penggambaran dari keadaaan sosial dan merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi pada alam, dan ada yang bertolak dari orientasi pengarang dan pembaca. Novel di bawah lindungan ka’bah banyak menceritakan tentang percintaan laki-laki dan perempuan yang sama-sama saling mencintai, dan terpisah karena perbedaan latar belakang sosial. Terlihat dari karya sastra sebagai penggambaran dunia dan alur kehidupan manusia. Kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" pada penggambaran, atau yang hendak jelaskan dalam sebuah karya berupa gembaran.
Makalah ini pengumpulan serta penganalisisan data menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Pada novel di bawah lindungan ka’bah ini melatar belakangi pengalaman pengarang dalam kehidupan, sehingga mampu menghidupkan antar tokoh seperti kenyataan. Dalam novel menceritakan bahwa pada saat pengarang menyusun novel ini banyak terjadi kehidupan sosial yang membedakan antar latar belakang sosial. Hal ini dapat dikaji dengan mimetik yang menggambarkan kehidupan sosial pada masa itu.
KAJIAN TEORI
Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa penggambaran novel dalam tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di dunia ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana novel ini merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin, catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca, dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka.
Secara umum mimetic dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari kehidupan dunia nyata. Mimetic juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan hidup social dan dialami dan dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan penambahan scenario yang timbul dari adanya imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut.
Pengertian mimetic menurut para ahli:
Plato mengungkapkan bahwa sastra atau seni hanya merupakan peniruan atau pencermian dari kenyataan
Aristoteles berpendapat bahwa mimes bukan hanya sekedar tiruan, bukan sekedar potret dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarang.
Ravertz mengungkapkan bahwa mimes dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang mengkaji karya sastra berupaya mengaitkankarya sastra dengan realita suatu kenyataan.
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dan kayu dengan jumlah lebih dan satu idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah tetapi segitiga yang terbuat dan kayu bisa berubah (Bertnens l979:13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republik bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dan negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dan ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan duplikat dari ide, sehingga hal tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dan pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra, sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dan jiplakan (Luxemberg:16).
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew, 1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka. Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984:221)
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. “Bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18). Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (Luxemberg, 1989: 18).
PEMBAHASAN
Biografi HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah)
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Identitas Buku
Judul Karya Sastra: Di Bawah Lindungan Ka’bah
Nama Pengarang: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Tahun Terbit: Cetakan XIV tahun 1979
Penerbit: Bulan Bintang
Kota Terbit: Jakarta
Tebal buku: 80 hal.
Sinopsis
Hamid adalah seorang yatim dan dia tinggal bersama ibunya di kota Padang, tepatnya di sebuah rumah yang mungkin lebih layak untuk disebut sebagai gubug. Beberapa bulan kemudian, rumah besar di sebelah gubug Hamid, ditempati oleh Haji Ja’far yaitu seorang saudagar bersama istri dan anak perempuannya. Karena iba dengan keadaan Hamid dan ibunya, istri saudagar itu yang biasa dipanggil Mak Asiah, membantu h amid. Haji Ja’far menyekolahkan Hamid bersama-sama dengan putinya, Zainab yang akhirnya dianggap adik oleh hamid. Setelah tamat sekolah, Hamid menyadari bahwa dia mencintai Zainab, begitu pula sebaliknya. Tapi, keduanya saling menyimpan rasa itu. Karena Hamid tau, walaupun ia mengatakannya pasti akan sia-sia. Dia tidak sederajat dengan Zainab. Begitu pula Zainab. Dia menyadari akan kedudukan keluarganya dalam masyarakat, karena itulah dia tidak mengatakan perasaannya pada Hamid. Sampai suatu hari, Haji Ja’far meninggal dunia. Hamid dan Ibunya tidak lagi sering ke rumah almarhum Haji Ja’far. Di tambah lagi dengan keadaan Ibunya yang sudah sakit-sakitan dan tak lama, Ibunya pun menyusul menuju alam barzah. Hamid begitu terpukul dengan semua cobaan ini. Kini dia sebatang kara. Apalagi ketika Mak Asiah meminta bantuannya untuk meluluhkan hati Zainab agar mau menikah dengan kemenakkan ayahnya.
Hamid yang putus asa memutuskan untuk meninggalkan kota Padang dan pergi sejauh-jauhnya dari kota itu, maka sampailah dia di tanah suci ini. Di tanah suci dia bisa melupakan Zainab dan semua penderitaannya, yaitu dengan berserah diri kepada ALLAH. Tapi, tidak jarang kenangan-kenangannya bersama Zainab muncul menghantuinya. Sampai datanglah Saleh, temannya sewaktu masih di bangku sekolah. Dia membawa kabar mengenai zainab yang dia ketahui dari istrinya, yaitu bahwa Zainab juga mencintainya dan sekarang dia tengah menderita karena perasaa yang sudah lama dia pendam itu. Zainab tidak jadi menikah dengan kemenakkan ayahnya. Ketika surat Zainab untuk Hamid datang bersamaan dengan surat Rosna, Hamid menyadari betapa beruntungnya dia bahwa mengetahui kalau Zainab berperasaan yang sama pada dirinya. Tapi, itu tidaklah mengubah keadaan, karena semuanya telah terlambat.
Pada hari mengerjakan tawaf, datanglah surat untuk Saleh dari istrinya Rosnah. Hamid yang waktu itu berada di atas bangku tandu (karena sakit dan lemah badannya, Hamid tidak bisa mengerjakan tawaf sendirin) bertanya pada sahabatnya itu, surat apakah itu? Karena dia melihat adanya perubahan pada wajah Saleh setelah membaca surat itu. Dengan gugup Saleh mengatakan pada hamid bahwa Zainab telah tiada. Tak lama setelah mengerjakan tawaf dan berdoa, Hamid pun menyusul Zainab. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di bawah lindungan ka’bah dan pada hari itu juga jenazahnya di makamkan di pekuburan Ma’al yang Mahsyur.
Analisis Pendekatan Mimetik
Unsur intrinsik
Tema: cinta yang tak sampai karena perbedaan status sosial
Alur: alur dalam cerpen ini yaotu alur maju dimulai dari pengenalan cerita, pengenalan konflik/ masalah, puncak konflik/ masalah, pemecahan konflik/ masalah, dan penyelesaian konflik/ masalah.
Tokoh:
Saya: Tokoh Utama yang akhirnya bertemu dan berteman dengan Hamid.
Hamid: Seorang pemuda miskin yang tinggal bersama ibunya karena ayahnya telah meninggal semasa Hamid kecil. Hamid berbudi pekerti luhur, sopan, pintar, rendah hati, dan sederhana.
Ibu Hamid: wanita yang gigih berjuang membesarkan anaknya walau hanya sendirian. Baik hati dan penuh kasih sayang.
Zaenab: Anak perempuan Haji Ja’far dam Mak Asiah. Berteman dengan Hamid sejak kecil. Selalu bersama-sama hingga tamat sekolah. Zaenab baik hatinya, sopan, ramah, dan sangat patuh kepada orang tuanya.
Haji Ja’far: Saudagar kaya yang membantu kehidupan Hamid dan ibunya, yang menyekolahkan Hamid. Haji Ja’far sangat dermawan dan baik hati.
Mak Asiah: Wanita yang penuh kasih sayang. Baik hatinya kepada siapa saja.
Rosna: Istri Saleh dan juga sahabat baik Zaenab, dia selalu bersedia mendengarkan keluh kesah Zaenab dan menemani Zaenab disaat Zaenab merasa sedih karena kepergian Hamid.
Saleh: Teman semasih sekolah Hamid yang ingin melanjutkan pendidikannya di Mesir. Suami Rosna.
Arifin: Jika dalam novel dia adalah kemenakan Haji Ja’far hanya saja dalam Novel tidak disebutkan siapa namanya. Pemuda yang sedang bersekolah di Jawa, pemuda yang akan di jodohkan dengan Zaenab.
Latar (setting)
Latar Tempat
Di Mekah, dengan bukti “Dua hari kemudian saya pun sampai di Mekkah, Tanah Suci kaum muslim sedunia”
Di Kota Padang, dengan bukti “Ayah pindah ke kota padang, tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu.”
Di Rumah, dengan bukti “Saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu.”
Di Halaman Rumah, dengan bukti “Setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu”
Di Puncak Gunung Padang, dengan bukti “Waktu orang berlimau, sehari orang akan berpuasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung Padang.”
Pekuburan Ma'ala, dengan bukti “Sehari sebelum kami meninggalkan Mekkah, pergilah kami berziarah ke kuburan Ma'ala, tempat Hamid di kuburkan.”
Latar Waktu, pagi hari “Tiap-tiap pagi saya selalu di hadapan rumah itu”, malam hari “Di waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali Ibu menceritakan kebaikan Ayah”, dan sore hari “Kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka”
Latar Suasana
Suasana sedih, “air matanya titik amat derasnya membasahi sorban yang membalut dadanya”
Suasana Bahagia, “Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja'far sendiri bersama-sama anaknya.”
Amanat: lebih bersabar dalam menghadapi masalah, lebih bijak dalam menyelesaikan masalah, tidak mementingan perasaan sendiri tapi lebih mementingkan perasaan orang lain, bersikap rendah hati, lebih menundukkan pandangan ketika beremu dengan lawan jenis (lelaki).
Sudut pandang: orang pertama sebagai pelaku sampingan
Unsur ekstrinsik
Novel di bawah lindungan ka’bah ini memiliki tiga unsur ekstrinsik.
Sosial Keagamaan, terdapat tokoh religius yaitu Hamid, seorang muslim yang memendam cinta kepada Zainab hingga mati.
Sosial ekonomi, seorang perempuan dan laki-laki yang memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda hingga menyebabkan keduanya terpisah.
Budaya, kebudayaan tentang adanya perjodohan dan adanya kesamaan kasta antar pasangan. Dilatar belakangi pada tahun 1920 yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya.
Pendekatan mimetik
Novel ini merupakan tiruan nyata dari kehidupan si pengarang, dilihat dari sejarah atau latar belakang terciptanya novel ini menyatakan bahwa sebuah romansa percintaan berbalut suasana agamis dan mengusung semangat pembaruan mengenai adat istiadat pada saat itu. Pada saat itu ada sebuah organisasi yang mempermasalahkan masalah Ka’bah sehingga HAMKA membuat sebuah Novel yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah agar orang-orang muslim di Indonesia ini bisa berlindung di pada Ka’bah. Dengan demikian bahwa novel ini merupakan suatu bentuk pendapat Hamka mengenai Agama yang tidak kunjung berkembang pada saat itu, sehingga dengan menciptakan novel itu Hamka beranggapan akan mengubah orang muslim.
Pendekatan mimetik ini yang berada dalam novel di bawah lindungan ka’bah memuat beberapa aspek yang dapat dipecahkan. Yaitu:
Kebudayaan
Keagamaan
Sosial ekonomi
PENUTUP
Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa dan juga karya sastra merupakan hasil kreativitas dan imajinasi yang direpresentasikan dari kehidupan nyata. Kehadiran karya sastra tidak terlepas dari seorang pengarang yang menyampaikan hasil kreativitas dan imajinasinya kedalam bentuk bahasa. Bentuk bahasa yang dibangun, pengarang biasanya memberikan sentuhan-sentuhan kisah nyata yang ada dikehidupan masyarakat. Pada novel yang diangkat dari kisah nyata banyak memberikan pandangan bahwa dalam menjalani hidup ini harus sabar dan menerima apa adanya dalam menjalani takdir dari Allah dan harus terus bangkit dalam segala hal apapun. Sosok Hamid adalah seoarang pemuda yang sabar dan tabah dalam menerima jalan cintanya yang terhalang oleh perbedaan latar belakang sosial, yang berakhir dengan kematian.
Teori mimetik merupakan imitasi (tiruan) dari nilai-nilai yang ada didalam semesta, kehidupan dll. Jadi, ada dua hal yang saling berkaitan dalam mimetik, yaitu antara yang diimitasi yang berasal dari alam semesta, kehidupan, dan karya sastra sendiri, sedangkan yang kedua berupa tiruan, karya sastra baru yang berupa hasil saduran, disebut penciptaan kembali atau perubahan baru.
Analisis pendekatan mimetik dalam novel “di bawah lindungan ka’bah” karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Di temukan nilai-nilai sosial di dalamnya. Nilai sosialnya berupa kebiasaan atau adat istiadat yang pada tahun itu masih kental. Dan dari novel diatas ada tiga nilai yang dapat diambil dari pendekatan mimetik pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yaitu Kebudayaan, Keagamaan dan Sosial ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Djupriyanto, dkk. 1992. Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: Kendang Sari
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Endraswara, Suwandi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS
Teew, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Pustaka Jaya
Teeuw, P. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen Pengampu: Kurniasih Fajarwati, M.Pd.
Oleh:
Qori’atul Laili 163151028
TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2018
PENDAHULUAN
Makalah ini dilatar belakangi oleh konsep pendekatan mimetik sebuah karya sastra dilihat sebagai penggambaran dari keadaaan sosial dan merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi pada alam, dan ada yang bertolak dari orientasi pengarang dan pembaca. Novel di bawah lindungan ka’bah banyak menceritakan tentang percintaan laki-laki dan perempuan yang sama-sama saling mencintai, dan terpisah karena perbedaan latar belakang sosial. Terlihat dari karya sastra sebagai penggambaran dunia dan alur kehidupan manusia. Kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" pada penggambaran, atau yang hendak jelaskan dalam sebuah karya berupa gembaran.
Makalah ini pengumpulan serta penganalisisan data menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Pada novel di bawah lindungan ka’bah ini melatar belakangi pengalaman pengarang dalam kehidupan, sehingga mampu menghidupkan antar tokoh seperti kenyataan. Dalam novel menceritakan bahwa pada saat pengarang menyusun novel ini banyak terjadi kehidupan sosial yang membedakan antar latar belakang sosial. Hal ini dapat dikaji dengan mimetik yang menggambarkan kehidupan sosial pada masa itu.
KAJIAN TEORI
Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa penggambaran novel dalam tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di dunia ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana novel ini merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin, catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca, dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka.
Secara umum mimetic dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari kehidupan dunia nyata. Mimetic juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan hidup social dan dialami dan dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan penambahan scenario yang timbul dari adanya imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut.
Pengertian mimetic menurut para ahli:
Plato mengungkapkan bahwa sastra atau seni hanya merupakan peniruan atau pencermian dari kenyataan
Aristoteles berpendapat bahwa mimes bukan hanya sekedar tiruan, bukan sekedar potret dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarang.
Ravertz mengungkapkan bahwa mimes dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang mengkaji karya sastra berupaya mengaitkankarya sastra dengan realita suatu kenyataan.
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dan kayu dengan jumlah lebih dan satu idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah tetapi segitiga yang terbuat dan kayu bisa berubah (Bertnens l979:13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republik bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dan negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dan ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan duplikat dari ide, sehingga hal tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dan pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra, sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dan jiplakan (Luxemberg:16).
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew, 1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka. Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984:221)
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. “Bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18). Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (Luxemberg, 1989: 18).
PEMBAHASAN
Biografi HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah)
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Identitas Buku
Judul Karya Sastra: Di Bawah Lindungan Ka’bah
Nama Pengarang: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Tahun Terbit: Cetakan XIV tahun 1979
Penerbit: Bulan Bintang
Kota Terbit: Jakarta
Tebal buku: 80 hal.
Sinopsis
Hamid adalah seorang yatim dan dia tinggal bersama ibunya di kota Padang, tepatnya di sebuah rumah yang mungkin lebih layak untuk disebut sebagai gubug. Beberapa bulan kemudian, rumah besar di sebelah gubug Hamid, ditempati oleh Haji Ja’far yaitu seorang saudagar bersama istri dan anak perempuannya. Karena iba dengan keadaan Hamid dan ibunya, istri saudagar itu yang biasa dipanggil Mak Asiah, membantu h amid. Haji Ja’far menyekolahkan Hamid bersama-sama dengan putinya, Zainab yang akhirnya dianggap adik oleh hamid. Setelah tamat sekolah, Hamid menyadari bahwa dia mencintai Zainab, begitu pula sebaliknya. Tapi, keduanya saling menyimpan rasa itu. Karena Hamid tau, walaupun ia mengatakannya pasti akan sia-sia. Dia tidak sederajat dengan Zainab. Begitu pula Zainab. Dia menyadari akan kedudukan keluarganya dalam masyarakat, karena itulah dia tidak mengatakan perasaannya pada Hamid. Sampai suatu hari, Haji Ja’far meninggal dunia. Hamid dan Ibunya tidak lagi sering ke rumah almarhum Haji Ja’far. Di tambah lagi dengan keadaan Ibunya yang sudah sakit-sakitan dan tak lama, Ibunya pun menyusul menuju alam barzah. Hamid begitu terpukul dengan semua cobaan ini. Kini dia sebatang kara. Apalagi ketika Mak Asiah meminta bantuannya untuk meluluhkan hati Zainab agar mau menikah dengan kemenakkan ayahnya.
Hamid yang putus asa memutuskan untuk meninggalkan kota Padang dan pergi sejauh-jauhnya dari kota itu, maka sampailah dia di tanah suci ini. Di tanah suci dia bisa melupakan Zainab dan semua penderitaannya, yaitu dengan berserah diri kepada ALLAH. Tapi, tidak jarang kenangan-kenangannya bersama Zainab muncul menghantuinya. Sampai datanglah Saleh, temannya sewaktu masih di bangku sekolah. Dia membawa kabar mengenai zainab yang dia ketahui dari istrinya, yaitu bahwa Zainab juga mencintainya dan sekarang dia tengah menderita karena perasaa yang sudah lama dia pendam itu. Zainab tidak jadi menikah dengan kemenakkan ayahnya. Ketika surat Zainab untuk Hamid datang bersamaan dengan surat Rosna, Hamid menyadari betapa beruntungnya dia bahwa mengetahui kalau Zainab berperasaan yang sama pada dirinya. Tapi, itu tidaklah mengubah keadaan, karena semuanya telah terlambat.
Pada hari mengerjakan tawaf, datanglah surat untuk Saleh dari istrinya Rosnah. Hamid yang waktu itu berada di atas bangku tandu (karena sakit dan lemah badannya, Hamid tidak bisa mengerjakan tawaf sendirin) bertanya pada sahabatnya itu, surat apakah itu? Karena dia melihat adanya perubahan pada wajah Saleh setelah membaca surat itu. Dengan gugup Saleh mengatakan pada hamid bahwa Zainab telah tiada. Tak lama setelah mengerjakan tawaf dan berdoa, Hamid pun menyusul Zainab. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di bawah lindungan ka’bah dan pada hari itu juga jenazahnya di makamkan di pekuburan Ma’al yang Mahsyur.
Analisis Pendekatan Mimetik
Unsur intrinsik
Tema: cinta yang tak sampai karena perbedaan status sosial
Alur: alur dalam cerpen ini yaotu alur maju dimulai dari pengenalan cerita, pengenalan konflik/ masalah, puncak konflik/ masalah, pemecahan konflik/ masalah, dan penyelesaian konflik/ masalah.
Tokoh:
Saya: Tokoh Utama yang akhirnya bertemu dan berteman dengan Hamid.
Hamid: Seorang pemuda miskin yang tinggal bersama ibunya karena ayahnya telah meninggal semasa Hamid kecil. Hamid berbudi pekerti luhur, sopan, pintar, rendah hati, dan sederhana.
Ibu Hamid: wanita yang gigih berjuang membesarkan anaknya walau hanya sendirian. Baik hati dan penuh kasih sayang.
Zaenab: Anak perempuan Haji Ja’far dam Mak Asiah. Berteman dengan Hamid sejak kecil. Selalu bersama-sama hingga tamat sekolah. Zaenab baik hatinya, sopan, ramah, dan sangat patuh kepada orang tuanya.
Haji Ja’far: Saudagar kaya yang membantu kehidupan Hamid dan ibunya, yang menyekolahkan Hamid. Haji Ja’far sangat dermawan dan baik hati.
Mak Asiah: Wanita yang penuh kasih sayang. Baik hatinya kepada siapa saja.
Rosna: Istri Saleh dan juga sahabat baik Zaenab, dia selalu bersedia mendengarkan keluh kesah Zaenab dan menemani Zaenab disaat Zaenab merasa sedih karena kepergian Hamid.
Saleh: Teman semasih sekolah Hamid yang ingin melanjutkan pendidikannya di Mesir. Suami Rosna.
Arifin: Jika dalam novel dia adalah kemenakan Haji Ja’far hanya saja dalam Novel tidak disebutkan siapa namanya. Pemuda yang sedang bersekolah di Jawa, pemuda yang akan di jodohkan dengan Zaenab.
Latar (setting)
Latar Tempat
Di Mekah, dengan bukti “Dua hari kemudian saya pun sampai di Mekkah, Tanah Suci kaum muslim sedunia”
Di Kota Padang, dengan bukti “Ayah pindah ke kota padang, tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu.”
Di Rumah, dengan bukti “Saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu.”
Di Halaman Rumah, dengan bukti “Setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu”
Di Puncak Gunung Padang, dengan bukti “Waktu orang berlimau, sehari orang akan berpuasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung Padang.”
Pekuburan Ma'ala, dengan bukti “Sehari sebelum kami meninggalkan Mekkah, pergilah kami berziarah ke kuburan Ma'ala, tempat Hamid di kuburkan.”
Latar Waktu, pagi hari “Tiap-tiap pagi saya selalu di hadapan rumah itu”, malam hari “Di waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali Ibu menceritakan kebaikan Ayah”, dan sore hari “Kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka”
Latar Suasana
Suasana sedih, “air matanya titik amat derasnya membasahi sorban yang membalut dadanya”
Suasana Bahagia, “Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja'far sendiri bersama-sama anaknya.”
Amanat: lebih bersabar dalam menghadapi masalah, lebih bijak dalam menyelesaikan masalah, tidak mementingan perasaan sendiri tapi lebih mementingkan perasaan orang lain, bersikap rendah hati, lebih menundukkan pandangan ketika beremu dengan lawan jenis (lelaki).
Sudut pandang: orang pertama sebagai pelaku sampingan
Unsur ekstrinsik
Novel di bawah lindungan ka’bah ini memiliki tiga unsur ekstrinsik.
Sosial Keagamaan, terdapat tokoh religius yaitu Hamid, seorang muslim yang memendam cinta kepada Zainab hingga mati.
Sosial ekonomi, seorang perempuan dan laki-laki yang memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda hingga menyebabkan keduanya terpisah.
Budaya, kebudayaan tentang adanya perjodohan dan adanya kesamaan kasta antar pasangan. Dilatar belakangi pada tahun 1920 yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya.
Pendekatan mimetik
Novel ini merupakan tiruan nyata dari kehidupan si pengarang, dilihat dari sejarah atau latar belakang terciptanya novel ini menyatakan bahwa sebuah romansa percintaan berbalut suasana agamis dan mengusung semangat pembaruan mengenai adat istiadat pada saat itu. Pada saat itu ada sebuah organisasi yang mempermasalahkan masalah Ka’bah sehingga HAMKA membuat sebuah Novel yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah agar orang-orang muslim di Indonesia ini bisa berlindung di pada Ka’bah. Dengan demikian bahwa novel ini merupakan suatu bentuk pendapat Hamka mengenai Agama yang tidak kunjung berkembang pada saat itu, sehingga dengan menciptakan novel itu Hamka beranggapan akan mengubah orang muslim.
Pendekatan mimetik ini yang berada dalam novel di bawah lindungan ka’bah memuat beberapa aspek yang dapat dipecahkan. Yaitu:
Kebudayaan
Keagamaan
Sosial ekonomi
PENUTUP
Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa dan juga karya sastra merupakan hasil kreativitas dan imajinasi yang direpresentasikan dari kehidupan nyata. Kehadiran karya sastra tidak terlepas dari seorang pengarang yang menyampaikan hasil kreativitas dan imajinasinya kedalam bentuk bahasa. Bentuk bahasa yang dibangun, pengarang biasanya memberikan sentuhan-sentuhan kisah nyata yang ada dikehidupan masyarakat. Pada novel yang diangkat dari kisah nyata banyak memberikan pandangan bahwa dalam menjalani hidup ini harus sabar dan menerima apa adanya dalam menjalani takdir dari Allah dan harus terus bangkit dalam segala hal apapun. Sosok Hamid adalah seoarang pemuda yang sabar dan tabah dalam menerima jalan cintanya yang terhalang oleh perbedaan latar belakang sosial, yang berakhir dengan kematian.
Teori mimetik merupakan imitasi (tiruan) dari nilai-nilai yang ada didalam semesta, kehidupan dll. Jadi, ada dua hal yang saling berkaitan dalam mimetik, yaitu antara yang diimitasi yang berasal dari alam semesta, kehidupan, dan karya sastra sendiri, sedangkan yang kedua berupa tiruan, karya sastra baru yang berupa hasil saduran, disebut penciptaan kembali atau perubahan baru.
Analisis pendekatan mimetik dalam novel “di bawah lindungan ka’bah” karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Di temukan nilai-nilai sosial di dalamnya. Nilai sosialnya berupa kebiasaan atau adat istiadat yang pada tahun itu masih kental. Dan dari novel diatas ada tiga nilai yang dapat diambil dari pendekatan mimetik pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yaitu Kebudayaan, Keagamaan dan Sosial ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Djupriyanto, dkk. 1992. Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: Kendang Sari
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Endraswara, Suwandi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS
Teew, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Pustaka Jaya
Teeuw, P. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Comments
Post a Comment